Selasa, 28 Jun 2011

EMAS DI PANGKALAN JAMBU. MERANGIN.

 Banyak sawah yang jadi korban .



Tidak banyak petani di Indonesia yang bisa hidup makmur dari hasil sawah karena biaya tanam semakin mahal, sementara harga gabah selalu anjlok di saat panen. Akibatnya, petani mudah tergoda untuk mengalihkan penggunaan lahan. Apalagi jika lahannya mengandung emas, seperti di

Desa Bungo Tanjung, Kecamatan Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi.

Emas terdapat hampir di semua tempat di Bungo Tanjung. Tidak hanya di tepi Sungai Manau dan anak-anak sungainya, emas juga tersembunyi di sawah, hutan, dan tanah perbukitan.

Salah satu petani yang mengubah sawah menjadi tambang emas adalah Paman (40). Alasannya, hasil panen satu hektar sawahnya sering tak impas dengan keringat dan modal yang dikeluarkan. Sawahnya terendam luapan air Sungai Manau di musim hujan sehingga hasil panen tak optimal. Setelah sawahnya dijadikan tambang, dengan modal mesin pompa dan mesin diesel, dia bisa memperoleh 60-80 gram emas murni setiap pekan.

Hasil itu memang tidak sebanyak yang didapat para pengusaha ”dompeng” atau penambang emas bermodal besar di tepi Sungai Manau. Namun, bagi Paman, hasil itu sudah memperbaiki kehidupannya. Ia kini mempekerjakan 30 warga sesama petani dan mengupah mereka Rp 100.000-Rp 150.000 per hari.

Sudah dua tahun

Konversi lahan dari sawah menjadi tambang emas di Desa Bungo Tanjung marak sekitar dua tahun terakhir. Penduduk mengetahui adanya kandungan emas saat sejumlah pengusaha ”dompeng” masuk.

Dalam sehari, para pendatang bisa menambang satu kilogram emas murni. Warga setempat gerah melihat pendatang-pendatang itu jadi cepat kaya. Enam bulan kemudian, aparat desa mengusir para pendatang yang jumlahnya makin membeludak. Menurut Kepala Desa Bungo Tanjung Chaidir, kegiatan penambang itu mencemari sungai karena menggunakan air raksa untuk memilah emas. Banyak warga mengeluh gatal di kulit setiap kali mandi di sungai.

Setelah para pengusaha ”dompeng” diusir, sebagian warga tergoda menambang emas. Mereka menambang di sawah karena penambangan di tepi sungai dilarang. Mereka tidak menggunakan air raksa sehingga lingkungan tidak teracuni.

Selama tahun 2006, ada sekitar 10 lokasi penambangan emas di bekas sawah. Saat ini diperkirakan 30-40 hektar lahan sawah di Desa Bungo Tanjung berubah menjadi tambang emas. Di sisi lain, terjadi perbaikan ekonomi. Para petani seperti Amri, Amroni, dan Kartinah tak lagi mengeluhkan beratnya kehidupan setelah menjadi pekerja tambang.

Amri yang punya empat anak kini dapat membelikan makanan, pakaian, dan menyekolahkan anak-anaknya. ”Kalau dulu, buat makan saja susah,” tuturnya.

Merambah ke hutan

Penambangan emas rakyat kini merambah ke hutan. Di hutan yang berjarak satu jam perjalanan perahu mesin dari Desa Bungo Tanjung, berlanjut dengan satu jam berjalan kaki, ada ratusan orang sibuk menambang emas di tepi sungai.

Mereka menginap di lokasi tambang selama satu sampai dua pekan, lalu keluar hutan dengan membawa ratusan gram emas. Tidak sedikit dari mereka datang dari Jawa Barat, Lampung, dan Sumatera Selatan. Menurut Amri, banyak pemilik tambang yang sudah bisa membangun ruko (rumah toko), membuka usaha sewa mobil dan travel. Bahkan, membiayai seluruh anggota keluarga naik haji.

Menurut Amri, tambang emas di persawahan hanya bertahan enam bulan, maksimal satu tahun. Setelah kandungan emas menipis, areal tambang ditutup. Tambang meninggalkan bekas lubang-lubang besar seperti danau. Petani praktis tidak bisa lagi menanam padi di lahan itu.

Namun, hal itu tidak disesali karena para pemiliknya telah punya usaha lain yang lebih menguntungkan. Apa pun alasannya, pembukaan areal tambang tetap menghabiskan lahan pertanian. Hal ini telah lama dikhawatirkan oleh Kepala Desa Bungo Tanjung Chaidir.

”Saya pernah mengingatkan mereka, kalau sawah sudah rusak, anak cucu mau dikasih makan apa. Namun, mereka bilang, kalau pak kades sekarang bisa kasih kami makan, kami akan berhenti,” tutur Chaidir.

Sulit dipasarkan

Bahrul Munthe, seorang penyuluh pertanian lapangan yang tengah melancarkan gerakan menanam kedelai ke petani di Desa Tanjung Bungo, mengatakan, sebenarnya petani mau diarahkan untuk bersawah.

Dalam enam bulan terakhir, di wilayah itu dibuka lahan penanaman kedelai. Namun, menjelang panen, petani dipusingkan oleh masalah pemasaran. ”Sampai sekarang sulit mendapatkan pembeli kedelai dengan harga baik. Begitu juga dengan beras,” tuturnya.

Hal ini mengkhawatirkan Munthe. Bagi petani, sawah menjadi pegangan mereka untuk menghidupi keluarga. Jika hasil panen tidak mampu membuat hidup sejahtera, mereka akan banting setir ke usaha lain. Apalagi ada iming-iming kilauan emas di tanahnya.

Kalau persoalan seperti kesulitan pemasaran serta harga yang tidak sepadan dengan modal tidak segera diatasi, jangan salahkan petani apabila dalam lima sampai sepuluh tahun ke depan ratusan atau bahkan ribuan hektar sawah di Kabupaten Merangin berubah menjadi areal penambangan emas.

Kalau sudah demikian, saatnya kita mengucapkan selamat tinggal pada kemandirian pangan.


petikan; harian kompas .

Tiada ulasan:

Catat Ulasan